
“Kenapa? Idan melarangmu?”.
“Dia tidak tahu apa-apa”.
“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau
sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku
kau bisa mendapatkan semuanya?”.
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan
lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita
hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita
bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi
berdua, kita akan miliki segalanya….”.
“Hentikan”, potongku dengan suara bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya
buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur.
Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu
dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku”.
“Aku tidak bisa….”.
“Kenapa tidak?”.
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang.
Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali
memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain”.
“Aku….”.
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir”.
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku
rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makin cepat. Kupejamkan
mataku.
“Aku tidak mencintaimu”, gumamku.
“Lebih keras lagi”.
“Aku tidak mencintaimu”.
“Kau berbohong”.
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, ”Ya”.
“Ita”, suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk selalu membuatmu
bahagia”.
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat
atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus
bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak
dan tidak mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan
keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat
menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali
kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti
akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun.
Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau
harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang
lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa
idahmu selesai. Dan aku hanya disini sepuluh bulan lagi”.
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi… Entahlah...”.
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”.
“Aku….”, aku tergagap dan menggeleng.
“Jadi, bicaralah dengan Idan”.
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk
bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku
tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya
berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?”, tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku
ke dalam rumah.
“Ada apa?”.
“Sst!”.
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya.
Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga
orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau
dengan gambar… mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita”, katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah.
Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah
warna.
“Aku… Aku tidak punya hadiah apa-apa”, gumamku sambil kembali menatap ayunan
itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa….”.
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri”, katanya.
Ia duduk diayunan itu. “Ayo”, katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk di sampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku
benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah,
simulasi.
Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri
sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan
sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di
kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku
telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi
sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal”, teguran Idan membuyarkan renunganku. “Ada apa?”.
Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang”.
Dahinya berkerut. “Pram?”.
“Pacarku yang pergi ke Jerman”.
“Oh”, ia mengangguk. “Kapan?”.
“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun”.
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
“Dia sudah menikah?”, tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”.
“Dia ingin menikah denganku”, ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya.
“Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera
bercerai”.
“Oh…”.
Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya
ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, ”Kau yakin ia mencintaimu?”.
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?”.
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat”, ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia”.
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan disana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme
gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar
kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
“Dan?”, tegurku.
“Ya?”.
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”.
“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya
kau punya alasan untuk bercerai denganku”.
Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku. “Pit, bangun!”.
“Ada apa?”, gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan
pukul tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal”.
Aku terlonjak duduk. “Apa?”.
“Ganti baju”, perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan?”.
“ Baru saja”.
“Di?”.
“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi”.
“Idan….”.
Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju
yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih
tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
“Dan, aku sudah siap”.
Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu
taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik
kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku
menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia
tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.
Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali
menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman,
menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan
yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku.
“Pit, bawa Idan pulang”.
“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”.
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri”, katanya sambil menunjuk ke halaman
belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh
belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku
sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang
ditunjukkannya. Ketika aku mendekat, kulihat asbak disampingnya telah penuh
dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang.
Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan
tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar.
Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
“Aku mau pulang, Dan”, ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng pelan. “Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah
sendiri. Besok aku pulang naik bus saja”.
“Aku tidak mau sendirian di rumah”.
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak
dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit
tanganku dan berbisik, ”Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa
menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga
tahun”.
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati
menggigil.
Bagaimana bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk
mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”.
“Nanti saja. Aku tidak lapar”.
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”.
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir
melihatnya.
“Tunggu di sini”, ujarku lagi. “Aku tidak akan lama”.
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar
suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah
hampir bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa
terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan.
Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin
meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku
agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku
lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya.
Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba saja
ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia
pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan
diranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.
“Maaf, Pit”, bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan
kakak-kakakku. Mereka…”.
“Aku tahu. Tidak apa-apa”, tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.
“Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya”.
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia
kelihatan agak lebih baik. Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak
lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang
tanganku.
“Terima kasih”.
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku”.
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan”, ia tersenyum
nakal.
“Oh, kau!”, aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk menikah denganku”, lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu
serius. “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira
aku sudah beristri”.
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang
mesti berterima kasih kepadamu”.
“Untuk apa?”.
“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu”.
Idan tersenyum kecil. “Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai.
Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima
kasih”.
“Jangan memaksa”, aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima
kasih. Mengalahlah sedikit”.
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi
dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku
ini”, katanya.
“Entahlah, Dan”, aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capek berkilah
tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus,
keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas dan keinginan ibuku
yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah”.
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?”, tanyanya dengan mimik
lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak”, jawabku akhirnya. “Aku belajar bahwa
aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya
kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku
belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan
bersama”.
“Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan
kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan
semua itu“.
“Kau memang selalu pintar bicara”, Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?”.
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah
kau pergi”.
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”.
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat paling
bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi
berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam
waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia
paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan
kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan
itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat”.
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.
“Aku masih belum mengerti”, bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah
pernikahan sesungguhnya untukku”.
“Apa maksudmu kau mencintaiku?”, suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu”, kata-kata Idan begitu lugas,
menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku
mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh
tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah
bisa berhenti mencintaimu hingga kini”.
“Kau… Kau tidak pernah…”.
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan
orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku
menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak
menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku
tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau
gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah
dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan
dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian,
belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu”.
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan”, ujarku lirih. “Kau istimewa dengan
caramu sendiri”.
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai”.
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda
kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya.
Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah
seperti ini? Apa yang kau inginkan?”. tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah
kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua
ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih
berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku
ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan
jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun”.
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali
menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini
bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar
mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu,
tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga
kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan”.
Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu.
Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga”.
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan”, desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan
air mataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian
itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal
perceraian saat ini”.
“Berapa lama?”.
“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin”.
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku
ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin
tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu
yang mestinya bisa kita lewati berdua”.
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang.
Dia membutuhkan aku”.
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri.
Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”, aku menghela napas panjang.
“Entahlah, Pram”, bisikku.
“Apa maksudmu?”, suara Pram terdengar kaget.
“Aku… Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita”.
“Ita! Kau tidak… Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa
hidup dengannya, ia akan bahagia?”.
“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya”.
“Tapi kau tidak bahagia!”.
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi
Idan membuatku bahagia”.
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya.
Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang
kesempatan ini”.
“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri”.
“Ita, kau tidak mencintainya!”.
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup”.
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku
sangat mencintaimu?”.
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram”.
“Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?”.
“Idan mengajariku tentang cinta”.
“Hanya karena itu?”.
“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya”.
“Ita…”.
“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya,
atau mungkin lebih bahagia lagi”.
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
“Upit”.
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri
di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil
duduk di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?”, tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut
ia menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa melihatmu begini”, lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat
konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”.
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit”, aku mengangguk.
“Kau akan menyesal”, aku mengangguk.
“Kau akan sedih, kecewa…”, aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku”, aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!”, pekiknya tertahan. “Idan!”.
T A M A T
Penulis : Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar