Senin, 26 Desember 2011

Natal Buat Ayah

Ayah...
Sekarang aku hanya bisa berbisik memanggilmu saat hati ini lelah. Mengurai simpul ingatan saat lilin bambu yang engkau susun di atas tanah tepi telaga setelah engkau ajarkan aku menyanyi lagu "selamat ulang tahun-ku" yang ke-6. Di telaga yang menyuguhkan kenangan masa kanak-kanakku. Enam obor kecil dari ruas bambu ramping mungil dengan sabuk kelapa sebagai penyulutnya. Kutiup semua setelah lagu selamat ulang tahun usai kita dendangkan. Tak dapat kurangkai lagi ingatanku doa apa yang kupanjatkan saat itu. Yang bisa kupastikan senyumanmu mengembang dengan tepuk tangan riuh, Ayah. Dan kita merayakannya di telaga ikan mas milik keluarga.

Engkau berikan aku semua yang terindah untuk bisa kukenang kembali, terasa masih lekat didadaku saat tubuh ini engkau naikkan ke pundakmu. Kita kembali ke rumah dengan beberapa ekor ikan mas hasil memancing. Jalan kaki, kupegangi rambut dikepalamu yang basah oleh peluh. Di jalan orang berduyun merayakan natal dengan sukacita. Kita pun turut bergembira. Telah merayakan hari kelahiranku yang bersejarah disepanjang perjalanan hidupku.

Ayah, aku merindukanmu...

Sangat merindukanmu dengan segenap rasa rindu yang sanggup ditampung hatiku. Ingin kukisahkan lagi semua ini menjelang natal ke-27-ku. Dan engkau telah 21 perayaan hari gembiraku tak lagi bersamaku, tak lagi hadir, tak lagi nampak, tak lagi mengajarkanku lagu-lagu sukacita, tak lagi memikulku dipundak tegapmu, tak lagi memelukciumku, tak lagi membawaku ke telaga.

Dua puluh satu natal kulewati tanpamu. Setelah enam api kecil di telaga menyudahi dengan sebuah tiupan. Wusss.. Padam sudah, menjelma asap ke udara. Desember putih tutup tirai dengan Januari yang kelabu. Engkau berpulang dan tak kembali. Aku masih kerdil untuk mengerti bahwa tanah yang digali itu adalah untuk menelan tubuhmu dan engkau tak akan keluar lagi, selamanya terkubur disitu. Aku masih kecil untuk paham tangisan Ibu dan sanak keluarga adalah karena ditepi ranjang Rumah Sakit itu, saat engkau ucap ditelinga mungilku "I love you my beauty angel" menjadi kalimat terindah sejagad rayaku dari bibir gemetarmu.

Sejak aku bisa membaca abjad dan mendapati kata "love" artinya “cinta”. Aku mulai mencari definisinya. Dikamus kutemui sederet kalimat penjelas bahwa cinta adalah suka sekali, kasih sayang, terpikat antara lelaki dan perempuan, dan sebagainya yang terkesan retorik dan konseptual.

Ayah...
Kini aku mendewasa dan menjelajahi masa untuk mengerti kata I love you. Kupelajari lewat perjalanan waktu. Dihantarkannya aku banyak peristiwa-peristiwa yang gegap-gempita mengasah keyakinanku akan hati. Ayah... Bukankah cermin yang paling jujur adalah hati ? Sempat kutanyakan pada Ibu. Ibu menjawab cinta itu rasa paling agung yang dianugerahkan Tuhan. Aku bergeming dan lama mencerna kalimat Ibu. Pada gilirannya aku memilih untuk sejenak tak memepertanyakannya sampai waktunya tepat bagiku memahami.

Ayah...
Aku suka membaca. Aku dibesarkan dengan majalah anak dan buku dongeng yang menyuguhkan banyak kisah dramatis tentang perjuangan hidup. Kisah Cinderella yang menderita lalu berakhir haru biru bersama pangeran. Putri Aurora terkena tenun lalu tertidur ratusan tahun dan terbangun oleh satu ciuman sang pangeran. Romeo-Juliet dari negeri Verona, sepasang kaya raya yang mengenal cinta dan memilih bunuh diri atas nama cinta. Maka aku belajar: manusia mendamba cinta, lalu apakah cinta pertama itu adalah cinta yang terakhir ? Sebab tak ada cinta-cinta yang sama takaran rasanya. Dan sampai cinta sejati belum bertemu, kita belumlah bahagia.

*******

Dalam sebuah suasana, aku dan sahabatku pernah berbincang.

“Seperti apa seorang yang jatuh cinta itu, Dayinta ?”.
“Kau pernah melihat orang mabuk ?”. 
“Mabuk minuman keras maksudmu?”.
“Mabuk apa saja yang membuat seseorang tak sadar”.
“Cinta semacam opium begitu ?”, alisku melengkung.
“Terjemahkan sendiri korelasinya, kelak kalau kau sudah benar-benar jatuh cinta, kau baru bisa mengerti yang aku maksud dengan kata mabuk”.
“Aku ingin jatuh cinta dengan waras, bukan mabuk seperti itu”, sergahku.

Dayinta tersenyum tipis. Kata mabuk jadi kata kunci dari pesan dan kesan Dayinta yang pernah dibuat tak sadar oleh cinta.

“Aku pernah suka sama seseorang, apa itu disebut cinta ?”.
“Sekarang kamu masih menyukai orang itu ? Masih ingin memilikinya ?”, mata Dayinta menyelidikiku.
“Aku suka karena dia cerdas, tapi bukan ingin memilikinya”.
“Itu kekaguman namanya... Seperti penggemar pada tokoh idolanya. Bukan cinta. Karena cinta itu saat kamu melihat seseorang dengan mata hatimu, bukan karena sebuah alasan. Dan ketika kamu mencintai, kamu seperti terperangkap pada sebuah keadaan yang sulit diurai dan diterjemahkan”.
“Dayinta, apa cinta serumit itu ?”.
“Hahaha, kerumitannya bukan selevel logaritma atau rumus aljabar dalam mata kuliah statistik. Cinta akan rumit kalau kamu memperumitnya”, saat Dayinta menertawaiku seketika aku merasa dungu.
“Bagaimana dengan cinta kepada orang tua ?”, tanyaku lagi.
“Apa yang kamu rasakan terhadap Ibumu ?”.
“Aku akan lakukan apapun agar Ibuku bahagia, dan aku selalu merindukan Ayahku walau dia telah tiada”, jawabku.
“Begini, cinta itu sebuah rasa. Aku jelaskan ke kamu dengan retorika paling dahsyat pun itu tidak bakalan bisa kamu pahami sepenuhnya. Cinta orang tua, cinta keluarga, cinta tanah air, cinta tetangga, cinta diri sendiri, cinta buku, bahkan cinta pada sepotong cokelat, itu semua adalah cinta. Yang membedakan satu sama lain adalah ukuran dan takaran, tapi tak bisa saling diperbandingkan sebab semua berbeda penempatannya”.
“Aku kurang setuju”.
“Kamu berhak mengemukakan pendapat, cinta bebas kog untuk punya sudut pandang personal”.
“Bukan begitu, aku kurang setuju kalau cinta terukur dan tertakar”.
“Ya ampun...sudahlah! pergi saja ke Afrika dan jatuh cintalah di gurun pasir, lalu kembali ke Indonesia dan katakan bagaimana kisah cintamu”, nada suara Dayinta terdengar berat
“Baiklah, aku akan ke Bikini Bottom dan jatuh cinta pada Sponge Bob saja”, celetukku dan kami mengakhiri debat genting ini dengan tertawa.

*****

Ayah...
Di natal-natal tanpamu... Aku merayakannya dengan Ibu, saudara, sahabat, dan teman-temanku. Tanpa tart, lilin dan lagu happy birthday yang mengalun riang gembira. Kado kebanyakan adalah buku-buku yang masih aku simpan berjejer. Jejeran yang serupa dengan pertanyan-pertanyaanku tentang makna kata "I love you" yang tidak sedikit kuterima dari bibir-bibir para laki-laki penutur kata cinta tanpa jiwa. Bukankah tiap kata cinta yang diucapkan punya jiwa. Ayah, aku menemukan penyadaran itu dari sebuah buku filsafat pemberian sahabat.

Terbesit yang dikatakan Dayinta sahabatku. Jatuh cinta pada lawan jenis akan membuat kita mabuk. Sayangnya, semua orang harus merasakannya untuk benar-benar mendapatkan definisi perasaan mabuk itu. Zona nyaman tanpa jatuh cinta tidak akan mengajarkan apapun. Aku ingin jatuh cinta juga, Ayah. Aku ingin bisa mencintai bukan karena mencari definisi semata.

“Ibu, bagaimana Ayah dulu mencintai Ibu ?”.

“Tidak bisa diungkapkan, semuanya yang Ibu rasakan sebagai pemberian dari Ayahmu tersimpannya dalam hati. Senang dan sedih masih tercatat apik untuk Ibu kenang sebagai yang terindah. Ayahmu karakter laki-laki yang tahu menempatkan perempuan”.

“Ibu, aku pernah membaca sebuah buku yang menjelaskan empat tipologi karakter manusia”

“Lalu, apa yang bisa Ibu dengar dari bacaanmu itu ?”.

Sanguis, karakter yang hangat, lincah, bersemangat, menyenangkan, penerima. Namun mudah dipengaruhi pikiran dan perasaannya. Namun perasaan lebih berperan daripada pikiran reflektif dalam membentuk keputusan. Sangat ramah kepada orang lain sehingga biasanya dianggap ekstrovertKoleris, karakter yang hangat dan serba cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, mandiri, optimis, sangat independen dan berpendirian teguh. Tidak digerakkan dari luar bahkan mampu menjadi pengaruh dengan gagasannya. Plegmatis, karakter yang tenang, tak pernah merasa terganggu dengan situasi dengan titik didih sedemikian tinggipun, dia hampir tak pernah marah, mudah bergaul, baginya hidup adalah suatu kegembiraan, menjauh dari hal-hal yang tidak nyaman, agak pendiam dan tidak mudah terhasut. Melankolis, karakter yang kompleks, analisis, suka berkorban, perfeksionis, emosi yang sensitif sehingga intuisi seninya sangat kental, mudah menjadi introvert, namun jika perasaannya sedang dominan, dia akan masuk dalam berbagai kondisi jiwa. Kadangkala mengangkat kegembiraan yang tinggi dan bertindak ekstrovert, tetapi pada saat lain dia akan murung dengan depresi dan dalam periode ini ia kan menarik diri dan bisa menjadi antagonistik”.

“Apa kesimpulanmu ?”.

“Aku di point terakhir bu... Entahlah aku enggan berspekulasi”.

“Bagi Ibu, apapun karaktermu. Ibu akan selalu mencintaimu”.

“Terimakasih bu...”.

******

Ayah...
Di natal ke-27 ini aku baru saja selesai merasakan mabuknya cinta.. aku terjatuh dalam cinta yang rumit dan tak bisa kujelaskan dengan kamus manapun. Merasakan cinta pada seorang laki-laki, dia mirip Ayah, sosoknya, suaranya, mungkin itulah awal ruang hatiku terbuka menerimanya, dan mungkin saja itu bukan cinta tetapi obsesi sesaat, atau apalah istilahnya karena pada gilirannya terjatuh itu sakit meski kepada cinta.

Dibuatnya aku mabuk kepayang dan menari di awang-awang, lalu siapa yang harus aku persalahkan dalam urusan ini. Aku yang lugu dan mudah diperdaya atau dia yang faseh dan jenius berstrategi ? Ingin rasanya minta tolong pada Doraemon agar mengeluarkan alat teleportasi waktu dari kantong ajaibnya. Aku ingin kembali pada kondisi pra-jatuh cinta. Namun keterlanjuran ini tak bisa ditampik rupanya. Menyakitkan sekali. 

Ayah...
Di natal ke-27 ini aku merasakan patah hati berkeping-keping. Seperti melambung ke awan biru lalu meluncur tak terkendali dalam tarikan gravitasi. Hancur rasanya. Saat mabuk cinta tak menyediakan tempat untuk aku bisa melihat dengan mata yang jernih dan ketika tersadar ada lubang menganga lebar di hati ini. Tak kutemukan diriku sebelum menghadapi kenyataan sebenarnya. Harusnya aku tahu jatuh cinta dan patah hati adalah evolusi berkala.

Ayah...
Kondisi ini menelan hari-hariku untuk beberapa waktu merenung. Sesungguhnya kekuatan terbesar bukanlah saat berlari mengejar harapan namun bertahan saat harapan itu tak terkejar. Aku dipersilahkan untuk merasakan ini dengan kekuatanku yang bersisa meski sesak.

Ayah...
Bahwa hidup melaju lewat jarum jam yang tak berjalan mundur. Dunia tak berhenti untuk sekadar menyaksikanku yang terpuruk, rotasi bumi tidak akan melambat untuk mengikuti lelehan airmataku, pelan-pelan aku bangkit kembali. Ibu mengajarkan aku untuk ikhlas karena sebuah rasa cinta yang dianugerahkan Tuhan itu baiknya dikembalikan kepada pemilik-Nya yang hakiki... Tuhan Maha Tahu mana yang baik bagiku.


Cinta tidak pernah salah untuk dijadikan tertuduh atas derita kecewa, maka aku akan belajar dan terus belajar Ayah. Menemui kebenaran yang sejati tentang cinta dengan segala wujudnya. Aku harus jadi pahlawan atas diriku dengan keikhlasan dan bukan korban dari sebuah keadaan. Tak ada yang perlu disesali sebab cinta punya banyak rupa untuk disikapi dengan bijaksana. Ketulusan membuat segala yang sempat terlewati menjadi hadiah yang mahal untuk diambil hikmahnya. Walau pahit, sepi, perih.

Inginku mengunjungi kuburanmu Ayah, untuk memegang nisanmu, membalas kata "I Love You" yang pernah engkau dengungkan buatku dua puluh satu tahun silam.... I Love You too Ayahku...

Aku selalu merindukanmu lewat doa, semoga cinta Tuhan senantiasa menjaga jiwamu di alam sana.


Deasy Tirayoh, 2011
Didedikasikan buat penjaga hati hati dan mereka yang merayakan Natal dengan sepenuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar