Rabu, 25 Juli 2012

Maut Bernyanyi Di Pajajaran (Bagian I)

SATU


 Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.

Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti!
Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit. Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!....

Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahu-tahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!

Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!

Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya.

Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebar-lebar dan lebat.

“Manusia di atas pohon!” bentak pemuda itu, “Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!”. Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan.

Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran.

Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurang-kurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!

Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksud-maksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.

“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter. “Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?”
Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.

“Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari “kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.

Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu.... Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angin”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda” jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum...?”

Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.

“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He... he... he...” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!”.
Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”.
Si pemuda itu menjawab, “Pernah juga”.

Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!” Dewa Tuak memperbasakan, “Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!”
Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!

“Bagaimana rasanya?”
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“
Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”
“Barusan dari Jatiwalu...”
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok...,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya orang situ-situ juga”
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan?

Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata, “Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya...” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali.

Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda, “Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu... !”
Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!”

Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan Dewa Tuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya.
Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.

“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”
Si pemuda tersenyum, “Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...”
Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.

“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”.
Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat, “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!”
Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.

“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku... Mari...”
Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda, “Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!”

Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh.
Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.

“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana...?”
Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda. “Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!”

Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!” maki Dewa Tuak. Dia berseru, “Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”.
Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang.

Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angina memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.

“Krak”
Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang... sayang...” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...”.
Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung.

Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...”!


Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan...”
“Tapi guru...”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!”
Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!


***



DUA


Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan dirinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam.

Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas.

Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing! Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni.

Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok. Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.

Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.

“Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”.
Orang yang ditanya kerutkan kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?!”.
Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!” menyahuti si pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya.

Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-ciri yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi. Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro.

Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur menjadi pasir!
Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro Sableng.

“Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng... Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan keblinger...!”
“Jaga mulutmu, orang tua!” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diam-diam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!”

Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya.
“Orang tua!,” serunya. “Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut...?!”
Si berewok kaki buntung tertawa dingin.
“Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?”

Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!”, sahutnya. “Tapi tak apa... Aku tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”.

Si orang tua tertawa berkekeh.
“Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang...”
“Bukan aku yang bunuh...!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro. ”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!”
Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”

Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia. Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung.
“Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”.
Wiro Sableng tertawa-tawa.

“Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan....” Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”.
Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... Akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.

Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak, “Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!”

Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!”.
“Wuuuuuutt”!
Tongkat birunya disapukan ke bawah!


***



TIGA


Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh! Hal yang hebat sekali terjadilah.
Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncak-puncak, karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung! Bladra Wikuyana terbeliak kaget.

Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh!
Maka berserulah Bladra Wikuyana, “Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!”

Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala.
“Tongkat itu hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!

Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!

Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga tali.
Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera menuju ke Barat!

Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu. Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar.

Kemudian didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua. Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng?

Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola Wungu.

“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!” seru Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung pelataran.
“Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar.
“Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini?!”.
Wiro Sableng menyengir. Katanya, “Kalau begitu kalian semua di sini juga sama-sama ikut mampus dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali” perintahnya.
Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik.
“Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus...”
“Apa?” tanya Wiro Sableng kepingin tahu.
“Berlutut minta ampun di hadapanku dan bergabung denganku!”.
Wiro Sableng tertawa meledak.
“Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahu-tahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!”
“Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.

“Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..” kata Bladra Wikuyana pula. “Yang akan kalian hajar itu adalah seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!”
Bladra Wikuyana bersuit keras.

Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan serentak menyerang Wiro Sableng! Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: “Angin Topan Dari Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju? Apa kau tidak punya nyali?!”.

Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak, “Kalau kau ada urusan dengan salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!”
Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
“Tolol” makl Bladra Wikuyana pada murid-murudnya.
“Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti mundur dan terima hukuman!”.

Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!

“Ciaaat!”
Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul!

Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan!

Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola Wungu, “Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!”.
Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah.

Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan sambil bersiul-siul. Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat.

Manusia berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan kawan-kawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut mendekatinya!

Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!


***

EMPAT


Dia hanya merasakan datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat menggeser kaki ke muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan badan! Golok panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya, mengibarkan rambutnya yang gondrong!
“Dasar pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!” bentak Wiro Sableng. Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun hampir hal itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua lengannya.

“Sialan!” maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan kaki membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah muka. Mereka yang diserang tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari belakang menyeruak kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro Sableng.

Sejurus kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru mengarah pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng! Sementara itu dari atas laksana alap-alap golok Bergola Wungu kembati membabat! Ini lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun dia melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus tersebut.

Meski belum begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil senyum-senyum dia berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro Sableng terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian pemuda itu!
Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di tengah pelataran itu!

Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang tiada terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar serangan anak-anak muridnya, berdiri dengan tenang dan kembali bersiul-siul!
Sebenamya pemuda bermata tajam ini sudah dapat melihat dimana letak kelemahan barisan lingkaran pasang surut yang mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga orang pengeroyok dari salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu akan menjadi kacau balau! Bisa juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan hantaman pukulananginpuyuhatau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi ini pemuda inginkan cara lain yang lebih disukainya sendiri.

Maka berserulah Pendekar 212.
“Angin Topan Dari Barat! Apakah kau pernah lihat manusia dipakai jadi senjata untuk menyerang manusia...?!”
“Bocah gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak ciutkan lingkaran dalam sepertiga jurus!” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran sekali.

Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti dengan suara tertawa aneh yang menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola Wungu merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk meronta dan menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin untuk di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa terangkat ke atas! Dicobanya membabatkan goloknya! Terdengar satu pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang, kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi!

Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh memegang erat-erat kedua pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia itu laksana kitiran! Pekik jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar dimana-mana! Barisan lingkaran pasang surut hancur berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir dan terpukau oleh kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak murid Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang masih hidup yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang. Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.

“Angin Topan Dari Barat! Ini terima bangkai muridmu!” Tubuh Bergola Wungu yang tadi dibuat menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke arah Bladra Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola Wungu terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena sudah sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk!
Bau anyirnya darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia menyesak lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin Topan Dari Barat.

“Angin Topan Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang tentu kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa terhadapku! Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang kubur!”
“Pemuda iblis!” bentak Bladra Wikuyana. “Tak usah banyak bacot! Terimalah kematianmu dalam tiga jurus!”.
Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah angker. Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!

Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan Bladra Wikuyana yang disambung-dengan kayu dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk Arit!

“Heyyaaa!”
Pendekar 212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya lenyap dan sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah!
Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkan Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya namun sambaran angin tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke samping dan menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah! Kepingan-kepingan karang menghambur ke udara berpelantingan!

Wiro Sableng penasaran sekali. Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai tangannya tergetar hebat namun tetap pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkannya masih sanggup disapu oleh angin tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya kiri kanan memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras laksana badai!

Untuk dua jurus lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke dinding jurang sebelah Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di jurusan ini terpaksa menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran angin dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia persilatan baru hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya lawan itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari tenggorokkannya keluar suitan kencang.
Dengan serta merta permainan tongkat dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di tangan kirinya menderu dan mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan banyaknya!
Wiro Sableng terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul melompat.
“Angin Topan Dari Barat!” seru Pendekar 212. “Antara kita sebenarnya tak ada permusuhan yang berarti...”
Bladra Wikuyana tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru ribut-ribut segata permusuhan yang tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah diri! Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga tombak ke belakang.

“Kalau kau yang tua tetap berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!”
Bladra Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng berwarna sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada murid-muridnya untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya dialirkannya ke tongkat biru!

Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah! Dua angin keras beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar hebat! Tiada nyana tenaga dalam lawan yang muda belia itu lebih tinggi beberapa tingkat dari padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan diri untuk atur jalan nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya berputar memandang berkeliling terkejutlah ia!
Seluruh sisa anak muridnya yang tadi masih hidup menggeletak bergelimpangan dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka semuanya termasuk yang sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan Wiro Sableng mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu kini pengap bau daging manusia yang hangus!

Ketika Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana berhasil mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah tenggara. Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur berantakan.
Bagian atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka tersambar hangus dan menggeletak mati di situ juga!

Dan sementara itu di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu menyaksikan apa yang terjadi di dalam jurang batu karang itu dengan mulut menganga dan mata terbeliak sedang bulu kuduk merinding.
Kembali ke dalam jurang. Air muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri di tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang sepasang matanya menjadi merah angker.

“Pendekar 212!” desis Bladra Wikuyana.
“Detik ini jangan harap nyawamu akan selamat...!” Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah menjadi hitam legam. Sinar hitam yang memancar dari senjata ampuh Itu menggidikkan sekali.
“Bersiaplah untuk minggat ke neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam tongkat dan serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana tiada hentinya bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga!

Wiro Sableng begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih sangat terasa lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.

“Breet”!
Tersirap darah Pendekar 212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah merobek pakaiannya di bagian dada. Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya seperti melesak! Pendekar ini berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar dari kalangan pertempuran!


***



LIMA


“Ho ho.... Mau merat ke mana?!” tanya Bladra Wikuyana.
“Aku sudah bilang, sekali masuk ke sini musti lepas nyawa di sini!”
Wiro Sableng tak berikan sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti Bladra Wikuyana ini di atas jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya.
Ketika lawan menyerang kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.

Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra Wikuyana terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk melompat ke udara, menukik kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman yang dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali karena pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke dinding jurang sebelah Timur!

Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke samping. Tongkat menghantam dinding karang sampai hancur berantakan! Ketika Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali, langkahnya tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip pada senjata berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya.

Bergidik juga Angin Topan Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun yang silam dia pernah saksikan sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah sanggup dia menghadapinya?!
“Angin Topan Dari Barat” Pendekar 212 buka mulut.
“Baiknya kau lekas-lekas minta tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu.... !”
Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang lebih dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.

Pemuda ini sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Kapak Naga Geni 212 ditangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan, mengeluarkan suara berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat saktinya tak dapat lagi bergerak leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak bermata dua di tangan lawan!

Bladra Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus lihay mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini sesudah bertempur di jurus yang kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini terdesak hebat! Diam-diam Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin.

Ditahannya sedapat-dapatnya serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun ujung tongkat terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya kini liar mencari kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena telah menyuruh murid-muridnya menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali itulah satu-satunya jalan untuk kabur ke luar jurang batu karang!

Karena pikirannya bercabang dua, satu memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan pada serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini bukan tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia melabrak manusia berewok bertangan dan kaki buntung itu.

Dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu! Sambil kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata kapak membuat setengah lingkaran, salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan kanan Bladra Wikuyana yang terbuat dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu kutung dan lepas! Mental ke udara!
Bladra Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena aliran aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan tangan kayu ke dalam tubuhnya!

“Cuma lengan kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam mayat?” Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. “Sekarang aku minta kaki kayumu!”
Habis berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan bentrokan senjata cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin hebat. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala pukulan tangan kosong bagaimanapun hebatnya dari manusia berewok yang bergelar Angin Topan Dari Barat itu tiada artinya lagi!

Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang, menderu lagi ke kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu menjadi sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk mengelak!
Untuk kedua kalinya mata kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra Wikuyana sebelah kanan! Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan diri ke luar dari kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh keringat! Di dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh! Dengan tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata.
Mulutnya komat kamit.

“Ilmu apa yang kau mau keluarkan Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar omonganku! Aku yang muda ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji untuk bertobat dan hidup di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan iimumu buat menolong sesama manusia. Bagaimana...?!”
Bladra Wikuyana buka sepasang matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan kira kau sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku bocah hijau... Lihat mukaku.... “ Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya tampang Bladra Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan berwarna hitam, gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar sedang lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di enam kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah... Ilmu siluman macam begini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek Wiro Sableng. Disapukannya Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat Bladra Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya masih juga seperti tadi malah semakin menyeramkan.

Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana harimau terluka menerjanglah tokoh silat itu didahului oleh dua belas sinar hijau yang ke luar dari mata silumannya!
“Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!” rutuk Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak mautnya dari atas ke bawah!
Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa berkutik, juga tanpa menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah riwayat tokoh silat dari golongan hitam itu yang selama hidupnya telah menebar benih kejahatan dan mendidik manusia-manusia untuk disesatkan!

Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat darah yang membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala.
“Kapak hebat... kapak hebat....” katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada mata kapak pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera dimasukkannya ke balik pinggang kembali.

Selama setengah jam Wiro Sableng memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Disini ditemuinya banyak sekali persediaan makanan dan uang serta barang-barang perhiasan.
Menurut pikiran Wiro uang serta perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang ditimbun menjadi milik Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan perhiasan sekedar bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua dilihatnya langit sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir tenggelam.

Pemuda ini segera mencari tangga tali. Tangga tali itu kemudian dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang sebelah atas dan mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas. Dari atas sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam jurang batu.

Duapuluh enam mayat bergelimpangan dimana-mana. Pemuda ini garuk dan goleng-goleng kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam tiba nanti entah di mana dia akan berada. Suara siulannya mengumandang di belantara batu-batu karang. Sambil terus berjalan. bernyanyilah pendekar ini :

Langit merah angin silir...

Surya tenggelam di ufuk Barat...

Malam yang datang tentu dingin dan gelap...
Berjalan seorang diri memang tidak enak...
Tapi selalu diikuti orang lain juga tidak enak...

Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan diulang-ulang sampai beberapa kali. Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah unggukan batu.
Sambil tertawa-tawa berkatalah dia, “Manusia yang ikuti aku kenapa sembunyi di belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau hantu...?”
Wiro memandang pada celah batu karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening saja.

“Ah, manusia dibelakang batu tentu seorang pemalu”, katanya.
“Biarlah aku sendiri yang lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu. Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan! Apa yang tidak diduga oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak dari jurang Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!

***

Bersambung…
Maut Bernyanyi Di Pajajaran (Bagian II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar