Rabu, 25 Juli 2012

Maut Bernyanyi Di Pajajaran (Bagian II)

ENAM


“Aha… Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!” Kata Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar. Melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak.
“Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut sana...?” bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata, “Mungkin ada mengandung suatu maksud tidak baik....“

“Saudara... Aa...aku...” Anggini gugup sekali.
Apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu?
“Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini? Barangkali juga kalian hendak menjebakku...?”
“Saudara dengarlah...” kata Anggini pula. “Aku sebenarnya tidak mau dengan semuanya ini...”
“Semuanya ini apa...?” potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak....”
“Gurumu yang menyuruh untuk menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa gurumu menyuruh demikian?”
Kembali Anggini menggigit bibir.

“Apa dia belum puas dengan sedikit pertempuran siang tadi...?”
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa gurunya menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup pemuda itu? Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah langit yang disaputi sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek. Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.

Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu seketika lalu mengumandanglah gelak tawanya.
“Saudari... Apakah penguntitan ini ada sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?”
Paras Anggini semakin merah. 
“Tadi aku sudah bilang... Sebenarnya aku tak senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku...”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali kepertapaan. Katanya lagi aku harus... harus...” 

Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
“Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sintingl”
Meski Anggini memang tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun mendengar nama gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.

“Jangan hina guruku, saudara!” bentaknya.
Wiro Sableng garuk kepala. 
“Ah... Guru dan murid sama saja gebleknya!” kata ini pemuda. 
“Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau juga akan ikuti ucapannya itu...?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak si gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul! 
“Gurumu memang sinting!” katanya lagi.

Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ketinggian kesaktian Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu.
Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah angsurkan pipi ke muka!

“Plaak!”
Tamparan mendarat di pipi Wiro Sableng. 
Pendekar muda ini tertawa.
“Betapa lembutnya jari-jarimu mengelus pipiku..” katanya dengan pejamkan mata. “Ayo, tamparlah sekali lagi... dua kali lagi... tiga kali lagi... sesuka hatimulah...!”
Wiro menunggu tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan kedua matanya kembali.
Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis menahan geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. 

“Kenapa tidak mau tampar?” tanyanya sinis.
Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. 
Segera dibukanya selendang ungu yang melilit dipinggangnya yang berpinggul besar. 
“Eh... saudari kau ini apa mau buka pakaian didepanku?” tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata dengan ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku ini!” bentak Anggini. 
Tangan kanannya bergerak. Ujung selendang berputar pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng. Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih berbahaya daripada tenaga kasar yang diluarnya kelihatan hebat.

Pemuda ini tak mau menyambuti liuk liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya.
Masih tertawa dia mengejek, “Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!”
Dugaan Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba memapasi selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik selendang dan melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan Wiro Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan pula.

Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek maka kini Anggini rubah permainan selendangnya. 
Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
“Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!” memuji Pendekar 212. “Tapi tak cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku...” Ucapan Wiro Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.

“Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan kepala untuk mengelak.
Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya karena serentak dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng.

Hebat sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan selendangnya tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
“Ah... ah... bagus, bagus sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!” memuji Wiro Sableng.
Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng.

Pendekar 212 cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang sehingga kalaupun detik itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. 
Kemudian dengan tangan kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan tertarik ke muka!
Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi juga penasaran sekali.
Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan, malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini memaki dalam hati.

“Sambut paku perakku, rnanusia rendah!” bentak gadis itu.
Sekali dia gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal, berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. 
Karena jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata rahasia itu karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah gurunya telah berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya...?!

Sebaliknya yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan dengan berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya maka kini setelah si pemuda berhasil selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia memekik keras, lompat ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis molek begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. 
Dia melompat ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah, kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan terhuyung-huyung tak bisa melangkah!

Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?” tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya maka dengan cepat dia dapat membukanya kembali.Paras gadis ini merah sekali.
Matanya menyorot memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis mengedip-ngedipkan matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak gadis itu lagi.

Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek. Kesal dan gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya, putar tubuh dan lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
“Heh... kenapa jadi nangis?” tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang dibalik batu besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala. 
Lalu katanya, “Saudari, lihat, hari sudah senja. Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam yang gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke pertapaan!” jawab Anggini diantara tangis sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah... Sudah! Kau tidak tahu!” Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!”


“Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing! Pergi dari sini kau...!” Anggini menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini semua adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!”
“Jangan hinakan guruku!” hardik Anggini.
“Kau seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati. Tapi sayang kau juga turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah ke pertapaan gurumu sebelum hari menjadi malam...”
“Tidak!”
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu.


Akhirnya pemuda ini berkata juga, “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih pasti kau menjadi seorang gadis yang hebat....”
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu dipundak si gadis. 
Ketika dia memandang ke langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan samar-samar dibalik awan. 
“Sudah malam....” desis pemuda ini. 
Kemudian dia memandang pada gadis yang berdiri di depannya dengan membelakang itu.
“Pergilah cepat, saudari. Nanti kau kemalaman di jalan....”
Anggini gelengkan kepala. 
“Guruku akan marah... Akan marah kalau aku kembali.... “
“Kalau begitu ya tak usah kembali saja...” ujar Wiro Sableng.

“Aku memang tak bakal kembali...” kata Anggini pula.
“Hem... dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah...” Wiro tertawa. 
Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya pundak Anggini. 
Si gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. 
Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.

“Saudari, dengarlah…” kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis malahan meremas-remasnya dengan lembut. 
“Dalam hubungan guru dan murid walau bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan sendiri. Kalau kau tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.. kau tidak tahu....”
“Apa yang aku tidak tahu?” tanya Wiro.

Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus terang. Namun terluncur juga ucapan dari mulutnya, “Kalau aku musti kembali kata guruku... Aku harus bersamamu...”
Wiro tertawa.
Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam itu.
“Saudari... namamu siapa?” bertanya Wiro Sableng.
Dan karena tadi gadis itu diam saja diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih belum kering dengan air mata itu.
Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si gadis kini tambah keras dari tadi.
Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang membelai-belai itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu, saudari...?” tanya Wiro lagi.
“Anggini,” jawab si gadis perlahan.
“Nama bagus... nama bagus” puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka Anggini. 
“Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka bicara ngelantur. Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah menemuiku dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta... Kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini pula.
“Wah berabe kalau begini!” ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. 
Dia berpikir-pikir apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang.

Akhirnya diajaknya gadis itu duduk di sebuah batu datar. Daerah belantara dimana mereka berada saat itu serba asing baginya. Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak perjalanan belum menemui rumah penduduk.
Apakah dia dan gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu malam ini? Angin bertiup dari celah-celah batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin...?” bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak dibalik punggung si gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. “Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bias pula meninggalkan kau sendirian maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku akan cari tempat yang baik....”
“Nanti sajalah.... “ kata Anggini. Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia memandang ke angkasa.
“Langit cerah” kata Wiro. 
“Kalau nanti turun hujan, memang. Kita yang sialan.... !”

Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki tengkuk si gadis dengan hidungnya.
“Jangan begitu ah....” kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau nyala api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah Dewa Tuak adanya. 
Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring dibalik batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada berdekatan itu saling memberi kehangatan. 

Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika dia berada berdua-duaan disebuah dangau ditengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis disampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan sehat. Meski saat itu Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oleh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari itu pemuda ini tidak mau. Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya menggapai punggung Wiro dan pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya merangkuli tubuh itu, hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya yang sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat yang meluap itu.


* * *

Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada disampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.

“Wiro” panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
“Wiro.... !” panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab.
Tiba-tiba ketika matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana dia dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya tulisan. 

Anggini

Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit.
Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi.
212

Anggini merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi. Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya kekemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam tadi atau dini hari, atau pagi tadi sebelum dia bangun.

Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan ikatan selendang ungunya yang dipinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnyasederetan angka : 212. Sekali lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai ditinggalkannya tempat itu.


***


TUJUH



Kerajaan Pajajaran…
Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan baik, belum ada silang sengketa.
Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan Pajajaran aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan.
Tapi di dunia ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang tidak senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan orang lain, yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang lain itu lalu ganti menguasainya!

Saat itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu Purnawijaya adalah satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung dari permaisurinya. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah yang menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran.
Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan orang-orang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana, pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah menunjukkan bakat untuk menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu yang punya hak dan pantas untuk dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya.

Dari seorang selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama Werku Alit. Werku Alit ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya sama-sama disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan antara Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan!
Namun ketika Kamandaka dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya bukan anak kandungnya?

Dan bukankah dia sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih mempunyai hak untuk memegang tahta kerajaan? Werku Alit dalam dengkinya, apalagi sesudah kena hasutan oleh golongan-golongan tertentu yang memang tidak suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang dilahirkan dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak untuk menjadi raja Pajajaran.

Demikianlah, secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana Pajajaran, mengembara menuntut ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu. Ketika dia kembali ke istana maka saat itu dia sudah menyusun suatu rencana besar. Yaitu untuk merebut takhta kerajaan dengan jalan kekerasan! Dengan pertempuran, dengan peperangan! Dalam pengembaraan itulah Werku Alit bertemu dengan Suranyali atau Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang manusia sakti luar biasa maka Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan perjanjian bila kerajaan berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan Perdana Menteri!

Dalam menjadi tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit. Mahesa Birawa mempunyai rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan jatuh dan Werku Alit menang, maka Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia sendiri yang akan menampilkan diri menduduki tahta kerajaan Pajajaran.


* * *

Di hutan belantara di sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit.
Sementara Werku Alit kembali ke Pajajaran maka pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa Birawa dari adipati-adipati kecil yang bernaung dibawah Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut oleh kedua orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa orang adipati lagi yang telah dihubunginya.

Jika adipati-adipati ini datang dan menyerahkan beberapa ratus prajurit tambahan maka dapatlah diatur kapan dilaksanakan penyerangan terhadap Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka semua prajurit senantiasa dilatih perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi tambahan ilmu silat dan kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para adipati yang saat itu sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya. Mahesa merasa sangat menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa tiga orang anak buahnya yang diam di Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan dengan anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng sedang Kalingundii hilang lenyap tak tentu rimbanya.

Kalau saja keempat manusia itu ada di sana tentu tak usah payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan dan Adipati-adipati itu. Tapi tak apa payah sedikit. Nanti dia akan memetik hasilnya sendiri!
Di dalam kemah besar yang terletak di tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung Halimun itu, mengelilingi sebuah meja bulat telur maka duduklah empat orang laki-laki. Yang pertama tak lain dari Mahesa Birawa, kumis melintang dan badan semakin gemuk. Yang kedua Adipati Karangtretes yaitu Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya tegap kekar. Yang ketiga, yang duduk disamping kiri Mahesa Birawa ialah seorang berbadan tinggi kurus bermuka licin bernama Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir seorang laki-laki berbadan gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam kemah membuat kepalanya itu berkilat seperti bersinar-sinar. Manusia ini bernama Lanabelong, Adipati Kendil.

Di atas meja, dihadapan keempatnya terletak masing-masing segelas tuak murni dan harum. Ketiga adipati itu telah kena dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk memberontak terhadap Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila pemberontakan mereka berhasil kelak.

“Silahkan diteguk tuaknya, saudara-saudara adipati” kata Mahesa Birawa pula sesudah keheningan mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing kemudian meneguk tuak yang enak itu.
Di malam yang dingin minum tuak memang enak menghangatkan tubuh. Jakaluwing raba cambang bawuknya. 

Lalu bertanya, “Kapan kira-kira saatnya kita akan menggempur Pajajaran, adimas Mahesa Birawa?”
“Soal penggempuran itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah sanggup melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan, rata-rata sudah berpengalaman dan dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan saudara-saudara Warok Gluduk dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji akan bergabung dengan kita bersama beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka. Sesudah itu baru kita hubungi Raden Werku Alit untuk menentukan kapan saat yang baik untuk penyerangan....”
Adipati Jakaluwing manggut-manggut.
“Begitu memang bagus” kata Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya tuaknya.
“Di samping itu, mengingat bahwa di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh pelindung yang berilmu tinggi maka kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang hendak diberikan oleh Begawan Sitaraga yang diam di puncak Gunung Halimun!”
“Ah, hebat sekali kalau Begawan yang tersohor ini ikut di pihak kita!” kata Surablabak sambil pukul meja.
“Sebenarnya” kata Mahesa Birawarpula.
“Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam kesumat yang masih belum terbalaskan terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari Kamandaka....”
“Kalau Begawan ini setingkat umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira sudah seratusan usianya...” kata Lanabelong.
“Kira-kira begitukah” sahut Mahesa Birawa.
Kemudian laki-laki ini berseru memanggil pelayan untuk menyuruh tambah tuak di keempat gelas itu.

Sesudah pelayan pergi Mahesa Birawa buka mulut kembali.
“Besok aku akan kirimkan dua orang kurir ke Pajajaran untuk menemui Raden Werku Alit. Kuminta kepadanya untuk menyebar mata-mata lebih banyak, terutama di dalam istana guna mengetahui perkembangan terakhir, terutama mencari kabar selentingan apakah gerakan kita ini bocor atau tidak.. “

“Dan jangan lupa pula untuk meneliti pertahanan Pajajaran dimana yang lemah”, kata Lanabelong.
Mahesa Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara Adipati, agaknya pertemuan kita malam ini cukup. Sampai besok pagi”.
Keempat orang itu saling menjura kemudian satu demi satu meninggalkan kemah besar khusus untuk tempat perundingan, menuju ke kemah masing-masing.


***


DELAPAN



Laki-laki itu berjalan diliku-liku lorong bagian belakang istana dengan menundukkan kepala. Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana, pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya.

Di pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya.

“Aku mau ketemu Raden Werku Alit”, kata Udayana.
“Ada keperluan apa?” tanya salah seorang pengawal.
“Beliau sudah tahu”
“Tunggu di sini” Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya.
Tak lama kemudian pengawal yang masuk muncul kembali.
“Kau dipersilahkan menghadap”, katanya memberi tahu.
Udayana mengangguk dan memasuki pintu gedung.

Di dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya. Ditepuk-tepuknya bahu Udayana.
“Bagaimana? Ada perkembangan baru...?” Werku Alit berbadan tinggi langsing dan memelihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja Tiongkok!
“Perkembangan baru belum ada Raden.... Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyaknya ada perlunya juga saya sampaikan kepada Raden...”
“Bagus, katakanlah Udayana....”

“Rara Murni adik Kamandaka siang besok akan berangkat ke Kalijaga untuk menyambangi adik neneknya. Dia akan pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya.... “
“Hem....” Werku Alit menggumam dan mengusut-usut kumis talinya.
“Aku belum melihat adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba kupikir....” Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan tangan itu tiba-tiba menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut.
“Aku telah melihat kegunaan keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi. Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan”
Udaya menjura.
“Perintah Raden akan saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.


* * *

 Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap pasukan dibagi dua masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut kepala prajurit, Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala pasukan bala tentara Pajajaran.
Sebagai kepala pasukan tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang banyak orang yang mengatakan bahwa diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam rencana busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka!

Siang tadi seorang suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini dipondok tua di luar tembok kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu.

Sebenarnya tak pantas disebut pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya pun sudah sebagian melompong dimakan umur. Pondok atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah.
Dinyalakannya sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan mendung. Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar serta dingin.

Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis.
Berbarengan ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.
“Sudah lama kau...?” bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku Alit adanya.
“Sudah juga” sahut Kalasrenggi. “Raden mau bicara apa dengan saya?”
Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Angin tambah kencang.
“Ada tugas buatmu besok Kalasrenggi” kata Werku Alit.
“Tugas apakah, Raden?”

Hujan rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar. Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik saja terangnya, kelihatan berlari sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan mereka segera meraba hulu senjata dipinggang masing-masing!
“Hujan sialan!” Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia berpaling pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata, “Saudara-saudara, aku numpang mondok sama-sama kalian”
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia masih muda, berbadan kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau mencurigakan kedua orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk berteduh karena hari hujan lebat.

“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan kirinya menyelinap ke pinggang.
Laki-laki muda yang dibentak memandang dengan keheran-heranan. 
“Memangnya apa aku tidak boleh mondok di sini, Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa dan jangan banyak tanya!” hardik Kalasrenggi.
Pemuda itu bersiul dan menyeringai. 
“Tak usahlah bicara pakai membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!”

Kalasrenggi dengan tidak sabar melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya. Tapi langkahnya dihentikan ketika dalam kegelapan dan masih sempat melihat isyarat yang diberikan oleh Werku Alit.
Werku Alit tak ingin terjadi keributan yang buntut-buntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan terancam dia melangkah mendekati pemuda itu.

“Saudara” kata Werku Alit sambil memegang bahu si pemuda.
“Harap maafkan. Kawanku memang lagi kasar berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang harus kita ributkan di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah begitu...?”
“Ah... tepat sekali saudara....” jawab si pemuda. 
Werku Alit tersenyum. Tiba-tiba laksana kilat cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan!

Werku Alit tertawa mengekeh.
“Pemuda konyol mau banyak tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa. Raden. Mungkin mata-mata....”
“Ah, tampangnya saja geblek, dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali totok saja sudah rubuh!”

Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang menggeletak menelungkup itu. Dia bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun didengarnya Werku Alit berkata, “Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu! Mari kita muiai pembicaraan. Menurut keterangan pembantu rahasiaku, besok siang Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri laporan sama aku biar aku tentukan langkah selanjutnya!”

“Itu tugas mudah, Raden” kata Kalasrenggi. “Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang ikut dengan Rara Murni...?”
“Aku tak mendapat keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara Murni hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!”
“Baiklah Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk memberitahukan bahwa tugas sudah selesai....”
Werku Alit menepuk bahu kepala pasukan itu.

“Nah, aku pergi sekarang!”
Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya memandangi manusia yang menelungkup di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan niatnya yang tadi batal, tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri orang lain.
Dengan seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga tubuh itu terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari teratak tua itu.


***


SEMBILAN



Hanya beberapa ketika saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang tadi ditotok dan ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan lumpur.
Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.

“Sialan betul! Sakit juga tendangan kunyuk itu!” makinya seorang diri. “Di lain hari aku akan balas keramah tamahannya tadi!”
Sesungguhnya sewaktu Werku Alit menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud Werku Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri dialirkan dengan tenaga dalam.

Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di tubuhnya, taki-laki ini pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika Kalasrenggi menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat melihat gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua orang itu dapat didengarnya dengan jelas.
Orang ini duduk bergelung lutut dan berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa yang dipanggil dengan sebutan “raden” dan siapa yang satu lagi? Mengapa mereka bicara di tempat terpencil dan di malam hari berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang diberikan oleh orang yang dipangglkan “raden” itu? Siapakah Rara Murni? Apakah keduanya bukan gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang hendak menculik Rara Mumi kemudian melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu?

Orang itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah dialaminya tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di Kotaraja.
Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja. Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang manusia yang dua orang yang ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam sebuah kedai.

Memang saat itu tenggorokannya sudah seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih keroncongan.
Sambil makan dia terus juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang semalam itu gerombolan-gerombolan rampok.
Seorang rampok tak akan dipanggil “raden”. Pasti yang dipanggil “raden” itu seorang bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau menculik gadis orang? Mungkin pernah melamar tapi tak diterima?

Dia menyudahi makanannya. Ketika dia memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya lalu diberikannya sejumiah uang.
“lni kembalinya, Nak” kata orang kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil saja....” kata pemuda.
Si orang tua jadi keheranan. Demikian juga beberapa orang yang duduk di dekat sana.
Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi macam anak-anak itu berlagak seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau terima uang kembalian! Tapi perhatian orang hanya sebentar tertuju kepada si pemuda. Masing-masing kemudian sibuk mengurusi mulut dan perutnya sendiri.

Si pemuda mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan.
“Uang yang kulebihkan itu untuk membayar beberapa keterangan darimu, Bapak” katanya.
“Keterangan?” Si orang tua kerenyitkan kening.
“Keterangan apa...?”
“Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja ini?”
“Dari masih orok sampai punya buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-tanya dan heran. 
“Kenapa anak tanya begitu?”
“Oh tak apa-apa.... Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara Murni?” Pertanyaan ini membuat si orang tua lebih heran. 
“Semua orang di Pakuan ini tahu siapa Rara Murni” katanya.
“Oh pantas.. pantas... Rara Murni yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu Kamandaka!” Tentu saja si pemuda mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara Murni adik dari Raja Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.

“Anak muda, ada maksud apakah kau bertanyakan adik Sang Prabu itu...?”
“Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa....”
“Kalau kau bermaksud buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali hulubalang-hulubalang Sang Prabu yang bertelinga tajam!”
Si pemuda sunggingkan senyum.
“Kau terlalu bercuriga terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang mendengar kabar disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan...?”

Pemuda ini kemudian tertawa geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan dari arah pintu.
“Manusia yang berani bicara seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku mau lihat tampangnya!”
Suara itu keras dan garang.
Si pemuda melihat bagaimana orang tua di hadapannya menjadi gemetar ketakutan. 
“Aku sudah bilang apa... Aku sudah bilang apa...” katanya berulang kali.
Pemuda itu dengan perlahan memutar tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan tegap bersenjata tombak.

“Bagus! Tampangmu memang mirip kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng istana!” Prajurit ini melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul diambang pintu.
“Tangkap pemuda rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!”
Dengan tombak terhunus kedua prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut gondrong. 
“Sebentar saudara... sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak tangannya ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu. Dan semua mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua prajurit itu hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit itu sudahkena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa bicara!

“Sebentar, aku mau bicara dulu!” kata pemuda rambut gondrong kini pada prajurit yang di pintu.
“Bicara apa?! Lekas? Katakan!”
Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini! Mengganggu aku yang hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan jari-jari tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang itu. Sang lalat memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus menotok jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya tubuhnya sudah kaku tegang!

Si rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan beberapa ketika saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba “Bluk... bluk... b!uk.... !”
Ketiga prajurit itu rebah ke tanah susul menyusul! Begitu mencium lantai begitu mereka kembali sadarkan diri!
Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap memburu ke luar kedai tapi si rambut gondrong sudah lama lenyap!

Tiga prajurit ini tiada lain adalah anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut gondrong mengeliling Kotaraja mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak tua di luar tembok kerajaan maka tanpa setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang menguntit tiada lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai maka dikirimnya tiga orang prajurit ke sana.
Diperintahkannya untuk menangkap pemuda itu dengan alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan dilakukan Kalasrenggi sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit.

Ketika mereka masuk dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang dipercakapkan si rambut gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk menalngkap pemuda itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenaga-tenaga lahir yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong “Mempermainkannya!”


***


SEPULUH
“Kalau Rara Murni adalah adiknya Raja Pajajaran...” kata pemuda itu sambil terus juga menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau. “Pasti peristiwa penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan buntut panjang!”
Dia menengadah ke langit.

“Ah, cepat benar bergesernya matahari....” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan dengan seorang penjual sayur mayur maka bertanyalah dia, “Bapak, manakah jalan yang menuju ke lembah Limanaluk?”
Penjual sayur mayur itu menyeka peluh dikeningnya terlebih dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan dia menunjuk ke ujung jalan.
“Ikuti saja terus jalan ini, jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari sini”
Pemuda yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya kembali....

Kereta itu bagus dan mungil potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya berlari kencang. 
Empat prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya dibelakang. Debu menggebu sepanjang jalan yang mereka lalui.
Setelah dua jam perjalanan meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh mulai banyak lobang-lobang dan batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika melewati satu pengkolan tajam. Selewatnya sebuah penurunan jalan yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil berair jernih.

Prajurit di depan sebelah kanan melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita remaja munculkan diri ke luar.
“Ada apa berhenti?” Suara gadis ini bertanya begitu merdu. Kepala pengawal menjura sedikit dan menjawab, “Kuda-kuda kita perlu diberi minum, Tuan Puteri...”
Rara Murni menutupkan tirai jendela kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke dalam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka mereka tak dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam yang dilubangi di bagian matanya.

“Perjalanan kalian hanya sampai di sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya berat dan parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali suaranya yang asli. Empat pengawal kereta yang tahu bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam itu datang bukan dengan membawa maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara tertawa mengekeh.
“Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher segeralah tinggalkan tempat ini!”
“Bangsat rendah! Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala pengawal. Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar matahari!

Manusia berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan dengan itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta terpekik.
Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan tendangan tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi sambungan sikunya yang copot!
Tiga pengawa! yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga laki-laki lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran maka terdesaklah ketiga pengawal kereta.

Sementara itu di dalam kereta, mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara beradunya senjata dengan hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut sekali melihat ada sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati kereta dan mengulurkan tangan untuk membuka pintu kereta!

“Rara Murni... kau tak usah cemas! Apa yang terjadi disini hanya pertunjukan biasa saja. Silahkan turun...!”
“Kalian siapa...?!”
“Siapa kami itu tidak penting. Turunlah....”
“Rampok-rampok biadab! Kalau kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini sebelum pasukan kerajaan datang menumpas kalian!” Laki-laki berkerudung tertawa bergelak.
Dibukanya pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari kereta.
Kusir kereta yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang berkecamuk di depan matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara kasar segera mengambil cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki berkerudung.

“Rampok laknat! Berani mengganggu adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali.
Laki-laki berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya untuk melecuti muka kusir kereta. 
Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya dengan mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke tebing kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam timbul karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah membuatnya pingsan terlebih dulu!

Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara Murni berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang hendak menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan.

Dalam waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara Murni dinaikkan ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah naik ke atas punggung kudanya.
“Juga kereta itu!”
Tiga mayat pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak dan meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke dalam kali!

Dalam waktu yang singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat itu hanya bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda yang masih terus meringkik-ringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti tenggelam ke dalam kali!


***

Bersambung…
Maut Bernyanyi Di Pajajaran (Bagian III)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar