Rabu, 25 Juli 2012

Maut Bernyanyi Di Pajajaran (Bagian III)

SEBELAS


Lembah Limanaluk satu daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat manusia berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala daya yang ada.
“Rara Murni, kalau kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan kekerasan...”
“Lepaskan aku!” teriak Rara Murni.
“Masuklah ke dalam kuil sana!”
“Tidak!” dan Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena dicekat.

Laki-laki berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu katanya pada ketiga orang itu, “Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas kita berhasil baik!”.
Tiga laki-laki berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil.
Kuil itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada luruh dimakan umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya rusak dan tangan serta kakinya sudah buntung.
“Lepaskan aku dari sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.
“Kau terlalu banyak cerewet, Rara Murni” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola matanya berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu. “Tapi...” kata orang ini kemudian.
“Kau mungkin tak akan banyak ulah bila mengetahui siapa aku”.

Habis berkata begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya. Betapakah tidak!
Laki-laki berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang cukup dikenalnya.
“Kalasrenggi!”
Kalasrenggi tertawa mengekeh.
“Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau juga masih mau cerewet?”
“Apa maksudmu dengan semua ini, Kalasrenggi?!”
“Apa maksudku? Kau akan lihat saja nanti!”

“Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau kakakku mengetahui perbuatanmu ini?!”
“Kakakmu tak akan pernah mengetahuinya!”
“Aku akan adukan dan kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianat-pengkhianat kerajaan!”.
Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni. Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa tertarik dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan tubuhnya.

“Mungkin kau tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni. Kepalamu cukup bagus untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!”.
Rara Murni terkejut.
“Apa maksudmu?”
Kalasrenggi tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni. Katanya, “Kalau kau mau menuruti apa yang aku katakan, mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari kematian....”
“Kau benar-benar pengkhianat terkutuk! Terkutuk!”

Masih dengan tertawa yang menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat, cuping hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat ini Rara Murni segera melangkah mundur. Mundur sampai punggungnya membentur dinding kuil. Sebelum dia sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan panas digelorai nafsu telah mencekal lengannya.
“Kenapa musti takut...?” ujar laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembus-hembus ke muka Rara Murni.

“Keparat! Lepaskan tanganku! Lepaskan!” teriak Rara Murni.
Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam pelukannya yang beringas dan ganas. Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik. Meronta dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi, membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciuman-ciuman laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya!

Rara Murni memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah menggejolak dalam diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat.

Rara Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam keadaan begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya!

Dalam nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar di atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai kuil!


Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini adalah anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara Mutni telah dilaksanakan.
Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hamper saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing dilihatnya tiga deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah akibat pukulan atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212 pada kening ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama sekali oleh Kalasrenggi!

Pada saat dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan serta merta Rara Murni bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat. Pada pintu kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak bisa tidak pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni...
Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia berkerudung di pintu itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang dikenakannya adalah kerudung salah seorang anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga anak buahnya itu!

Meski amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah.
Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil itu!
“Tamu tak diundang, silahkan buka kerudung!” kata Kalasrenggi.
Orang yang di pintu menyeringai di balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-mula mengekeh perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak yang menggetarkan gendang-gendang telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu!

Kalasrenggi bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara tertawa manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan dinding kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah menewaskan ketiga anak buahnya.

Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan takut melihat munculnya manusia berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi, diam-diam Rara Murni menjadi sedikit lega hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi! Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini.
Hati Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali besar.

“Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa aku turun tangan....”
Orang berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti, “Diri manusia tidak diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!” Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-kata ini.
Si kerudung hitam tertawa bergumam dan berpaling pada Rara Murni dan berkata, “Bukan begitu Tuan Puteri Rara Murni...?”

Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak menyangka kalau laki-laki itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam juga.
Orang kerajaan juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud menolong, mengapa musti pakai kerudung hitam segala?
“Tapi...” kata laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya, “Kalau kau memang kepingin melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung hitam ini. Tampangku memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan aku ke mana-mana!” Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang menutupi kepalanya.


***

DUA BELAS


Bila Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu ternyata laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong. Meski tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong kepada paras anak-anak.
Sebaliknya begitu menyaksikan tampang manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi telah berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!

“Ingat siapa aku...?”
“Saudara, apa urusanmu dalam hal ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya menyelinap ke balik pinggang dimana tersisip sebilah keris.
“Ah... Tentu ada saja, Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku malam tadi. Enak juga tendangan itu. He.. he... he.... Lalu, aku tidak begitu suka pada manusia-manusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta tukang rusak kehormatan perempuan.... Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan denganmu?!”

“Hem....” Kalasrenggi menggumam.
“Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu hal yang menyenangkan sekali!”
Habis berkata begini Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari hidungnya.
“Terangkan dulu siapa kau punya nama!” katanya kemudian.
“Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening ketiga anak buahmu!” jawab si pemuda pula.

Kalasrenggi tertawa mengejek.
“Baru kali ini aku bertemu manusia yang namanya adalah tiga buah angka. Angka-angka gila!”
Si pemuda tertawa. “Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat macam kau Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur dari sini? Lalu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara Murni? Aku tidak sebodoh dan sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!”
“Kalau betul kau punya nyali, tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang.
Dengan satu lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan yang hebat ini dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan tertawa-tawa.
“Kalasrenggi, kalau mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda rambut gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata begitu karena khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu akan mendapat celaka.
“Tak usah banyak mulut! Kau harus mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!” bentak Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat ini menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya.
Kemudian di belakangnya terdengar suara siulan.
“Aku di sini Kalasrenggi, mengapa menyerang tempat kosong?!”

Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas.
Tangannya bergerak cepat, tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin yang keras dan bersiuran.
Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan. Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki kehebatan lawan. Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera bergerak cepat. Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu sebat. Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri keluar kuil.
Sambil rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng berseru, “Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!”
Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni mempercepat larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya seperti disiram air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti.

Melihat lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro Sableng!
Namun dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat dikelit oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan!
Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan kelihatan biru dan bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng melayaninya seperti acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian lihainya.
Sesudah mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian yang terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris dari balik pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan sinar membiru.
Tanpa banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan dahsyat.
Kalasrenggi memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri itu maka serangan-serangannya sukar diduga.
Namun demikian pendekar 212 sudah punya rencana sendiri terhadap manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya saja untuk beberapa lamanya serangan-serangan keris Kalasrenggi. Kepala pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan geram. Dipercepatnya gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu erat-erat, Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat.
Kalasrenggi masih belum mengerti apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak dapat melihat dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja dirasakannya keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan tertahan.

Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya yang kosong!
Wiro Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu. Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk kirinya.
Mendadak sontak detik itu juga tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa mendengar, demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar 212 sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.

Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini melangkah mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan kedua kaki gadis itu.
Rara Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro Sableng.
“Lepaskan tanganku!” teriak Rara Murni. “Terhadapku tak usah takut, Rara Murni.” Kata pendekar 212 pula.
“Kau siapa?!” tanya Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.
“Siapa aku itu soal nanti. Tapi apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa memberikan satu hukuman yang setimpal terhadapnya?!”
“Aku akan laporkan kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka!“
Pendekar 212 tersenyum.
“Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari, aku akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia bejat macam dia!”

Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi.
Kalasrenggi yang saat itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara.
“Keparat! Kau mau buat apa terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang keparat, Saudara...” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau melihat dunia terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!”
“Apa maksudmu?!” bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
“Apa maksudku kita akan saksikan sama-sama, Kalasrenggi” kata Wiro Sableng pula.
Sekali saja tali yang mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka terbantinglah laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari mulut Kalasrenggi.

“Sudahlah, jangan memaki-maki juga, tak ada gunanya” kata pendekar 212. Dia memandang ke atas atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah atap. Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang palang maka pendekar 212 mulai mengerek badan Kalasrenggi.

Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat merah karena darah-yang mengalir turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan digantung!
Yang bisa dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia menjadi letih sendiri.
Pendekar 212 tertawa mengekeh macam kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada Kalasrenggi: “Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat terbalik...?”
“Demi setan bila bebas aku bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat...!” hardik Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jari-jari tanganku ini...?”
Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.
Kemudian sepuluh jari-jari tangannya menggerayang menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya menjadi serak!
Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga berteriak, menjerit, melolong dan memekik dengan suaranya yang serak parau itu!
“Rara Murni, ayo mengapa diam saja? Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu terhadapnya, inilah saatnya,” kata Wiro Sableng pula.


Meski amarahnya memang masih meluap terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama disitu menimbulkan kekhawatiran bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat memastikan manusia yang bagaimana adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya telah menolong dan menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk menahan Rara Murni, diikutinya saja gadis itu dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!” gerendeng pendekar 212 dalam hati.
“Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!”
Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk itu maka pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan diam-diam dari belakang....


***

TIGA BELAS


Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya. Dia menunggu sampai nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun terasa sakit.
Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur sesosok tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil tua tadi!

“Letih?” tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
“Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara...”
“Aku tahu...”
“Lalu, mengapa lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut? Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?”
“Saudara, kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku? Aku ya aku...” jawab Wiro pula.
“Kalau kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!”
“Ah... tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!”

Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata, “Walau bagaimanapun aku musti kembali ke Kotaraja selekas mungkin...”
“Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku...”
“Ikut ke mana?”
“Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa ekor kuda. Kau bisa naik kuda?”

Gadis itu menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Kalau begitu...” katanya, “Kau terpaksa naik kuda bersama-samaku!”
Maka merahlah paras Rara Mumi.
“Jangan bicara seenak perutmu, saudara!” bentak gadis ini.
“Heh... Aku toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan kaki!” sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa.
“Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan ini...”
Ucapan Pendekar 212 itu memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal itu nanti?

Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali.
“Makin cepat kau sampai ke Kotaraja semakin baik...”
Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Wiro Sableng menggerutu dalam hatinya. “Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!” Dia geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti.
Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya yang buka mulut.
“Rara” kata Wiro ketika mereka sampai di jalan umum itu.
“Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang”
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.
“Rara Murni...” kata Wiro Sableng.
“Agaknya kau tidak senang terhadapku...? Tak mau bicara denganku?”

Rara Murni diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa adanya.
Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia.
“Kita berangkat lagi, Rara...?”
“Saudara....” kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri.
“Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau menuju ke mana?”
“Ah... ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali” kata pendekar 212 dengan senyum-senyum.
“Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju... Aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu...!”
Rara Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu.
Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.

“Nasib kita baik juga rupanya Rara” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
“Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak menjawab pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di sampingnya.
“Kalau kami tak salah lihat” kata laki-laki yang mengemudikan gerobak, “Agaknya kami berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran...”
Rara Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
“Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada di tempat ini...?” tanya laki-laki yang memegang kemudi gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik pada kawannya.

Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni.
“Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran...”
“Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai ke Kotaraja”
Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, disamping pengemudi sedang kawannya bersama Wiro Sableng duduk disebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.


***

EMPAT BELAS


Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekali-sekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang jalanan.
Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang sebentar-sebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.

Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat. Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta mentimunmu satu....” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
“Rara Murni...” seru Wiro Sableng tiba-tiba. “Apakah kau suka makan mentimun?”

Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan mendapatkannya tak usah susah payah...”
“Terima kasih... Aku tidak haus, Saudara....” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem....” Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu.
Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera datang.

Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya.
“Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?”
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menunggu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan!


Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan menggeledek.

“Ciaaat!”
Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar.
“Kentut betul!” makinya dan meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri! Puah...!” diludahinya lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat.

Rara Murni tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!” gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang mencekal Rara Murni.
“Sreet!” Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm... Jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh? Seekor serigala yang berbulu domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!”

Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang tengah menyamar!
Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!

Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.

Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!

“Plaaak!”
Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya.
Wiro Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni.
“Hari ini nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara” kata pemuda itu dengan senyum-senyum.
Si gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: “Tapi ada juga untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan. Rara Murni naik kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu.
Dan disamping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda itu!

Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia berpaling ke samping. Lalu berkata, “Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya....”
“Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?” tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212 tertawa. “Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab” ujar Wiro Sableng pula. “Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi....”

Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro Sableng berkata lagi.
“Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi....”
Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata, “Saudara... tunggu dulu”


Pendekar 212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara...?”
“Aku belum bilang terima kasih pada kau...”
“Ah....” Wiro Sableng goyangkan tangannya. “Tak usah... tak usah. Itu hanya kebetulan saja....”.
“Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke istana”.
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara....” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?”
Wiro Sableng tertawa.
“Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan saja....”
“Jadi, apakah kau tidak punya nama?” tanya Rara Mumi pula.
Wiro Sableng tertawa lagi.
“Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini....”.

Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.
Rara Murni memperhatikan angka itu. “Dua satu dua...:” desisnya.
Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang. “Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos....” kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja.

Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka sia-sia belaka.
Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar?

Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total diadakan!

Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan keterangan!


***

LIMA BELAS


Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan kali ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat oleh para pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh sekutu dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang kurir Raden Werku Alit dari Kotaraja.
Sebagaimana biasa pertemuan penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang duduk di kepala meja. Setelah mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman masing-masing maka Mahesa Birawa segera membuka pembicaraan.

“Pertama sekali perkenankanlah saya atas nama adipati-adipati yang terdahulu datang ke sini dan juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang pada Adipati Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad Adipati-Adipati berdua untuk bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan mencapai cita-cita kita yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan Kamandaka dari takhta kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit masih hidup maka Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja Pajajaran....”

Mahesa Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu melanjutkan bicaranya.
“Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas keterangan yang telah disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang mata-mata kita tertangkap. Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat mereka dibuang ke kali. Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang siur sehingga belum dapat saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua mata-mata kita itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling buruk ialah bahwa salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga telah menemui kematiannya.

Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk. Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang agak bersimpang siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan pada keningnya tertera guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu angka 212....”
Mahesa Birawa memandang berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu keheran-heranan.
“Sukar diduga siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat ditafsirkan apa arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu memerintahkan pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita sudah menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu masih belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini dia akan segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita terus dalam kesiap siagaan.....”

Sunyi sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu bertanya.
“Sampai saat ini berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar dua ribu lebih. Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu enam ratusan. Tapi janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa aku katakan tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang besar tidak selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang lebih sedikit sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah disebabkan bahwa sesungguhnya unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana kelemahan-kelemahan pertahanan pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata bisa mengobrak-abrik mereka!

Kedua, dalam peperangan kecepatan tempur atau waktu penyerangan yang tepat adalah sangat menentukan. Bila lawan sedang lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup dikacau- balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita akan menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan mengetahui bila balatentara kita sudah berada di depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak sukar bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan pula manusia-manusia berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari perguruan-perguruan silat yang ternama juga, bukankah demikian?”

Kelima Adipati itu sama mengulum senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap ilmu pasaran yang rendah belaka!
“Di samping itu,” kata Mahesa Birawa pula, “Jangan pula kita lupakan bantuan yang akan diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan Sitaraga....”
“Oh, jadi Begawan sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu kita pula?” tanya Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
“Ya” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai pertikaian dengan Toa Kamandaka.... “ jawab Mahesa Birawa pula.
“Kalau benar begitu, satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan tanah....” kata Warok Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan yang bakai diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!

* * *

Waktu itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok tubuh itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak perduli angin kencang, tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia berjalan terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka disusurinya tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang pengawal bersenjata lengkap.

Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit berhentilah pemuda itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu memandang pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal pintu gerbang mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang daripadanya membentak.
“Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di sini?!”
Dibentak malahan pemuda itu tersenyum.
“Apa kau tidak tahu berada di mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal yang lain.
“Ah... itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja Pajajaran?”
Delapan pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada kesimpulan lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut gondrong itu seorang yang kurang ingatan.
Seorang prajurit yang agak berumur maju ke muka. “Orang muda, ini memang istana Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar sini....”


Pemuda itu garuk-garuk kepalanya.
“Kalau berdiri di sini tidak boleh... tentu masuk lebih tidak boleh lagi.... “ katanya perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Berlalulah dari sini” kata prajurit tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan Rara Murni....” kata si pemuda.
Prajurit tua itu tertawa.
“Tak seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan Puteri, apalagi kau....”
“Ini urusan penting sekali, Saudara!” desak si pemuda.
Salah seorang prajurit yang lain, yang sudah tak sabaran berkata.
“Pemuda gila, berlalulah dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!”

Tapi si pemuda tidak memperdulikan ancaman itu.
“Saudara pengawal, dengarlah,” katanya. “Aku pernah kenal dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian semua di sini. Aku musti ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda berambut gondrong bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan mengizinkan aku masuk....”
Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di antaranya malah mencibir.
Dan seseorang di antara mereka berkata: “Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau datang ke rumah dukun Gendong di kampung Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!” radang si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!”
Dan gelak membahak terdengar lagi di depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak apa” kata si pemuda yang tiada lain daripada pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila. Kalianlah semua yang gila tertawa tiada pangkal sebab!”

Habis berkata begini pemuda itu berlalu, melangkah sambil bersiul-siul.
Rara Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu terbuka dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya, seorang perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu lagi, Rara” kata Wiro Sableng. “Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini untuk memberitahukan kamarmu.... “


“Ada apakah kau datang ke sini, Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah... rupanya kau masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku datang ke sini.... Untuk bertemu dengan kau tentunya” kata Pendekar 212 pula seraya menyandarkan punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya.
Merah paras Rara Murni mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya ini memang tak pernah dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya pula dia.
“Mengapa kau ingin ketemu aku...?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku, Saudara....”
“Dengar Rara, aku musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga....”

Rara Murni terkejut.
“Ada urusan apa...?”
“Urusan penting. Penting sekali....”
Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski ceriwis dan suka bicara ngelantur tapi hatinya polos. Namun demikian dia masih belum tahu siapa adanya pemuda ini.
Bukan mustahil dia adalah seorang pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik secara lain. Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan menggolong.

“Katakan saja urusan pentingmu itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang Prabu....”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara Murni” kata Wiro Sableng pula.
Rara Murni yang lebih mementingkan keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka menjawab.
“Maaf, walau bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang Prabu....”
Wiro Sableng tak berkata apa-apa. Digaruknya kepalanya.
“Sukar memang untuk percaya pada manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau puas juga hatiku”.
Pendekar itu tertawa dan kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan kirinya dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan suara inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah tiada sadarkan diri.

Rara Murni hendak menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini berkata.
“Rara, perempuan itu tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai dia membocorkan rahasia. Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan pengkhianat-pengkhianat. Aku tak tahu siapa yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir kepalanya dan kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau bawalah Sang Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku ini?”


Habis berkata demikian pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari telunjuknya untuk menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan peringatan.

Dalam waktu yang dekat akan pecah pemberontakan..
Pemberontakan menggulingkan Sang Prabu dari takhta kerajaan Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat bermuka jujur tapi berhati seculas setan..
Siapkan bala tentara di luar tembok kerajaan...
212

“Sampai ketemu lagi Rara Murni” kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke pintu tapi si pemuda sudah lenyap.
Ketika malam itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang kedatangan pemuda aneh itu maka terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah besar-besar dan tanpa pengawal sama sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan memang apa yang tertulis di dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya.
Dinding kamar itu dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan pahat sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh telah menuliskannya dengan ujung jari!

“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang sakti luar biasa” kata Prabu Kamandaka.
“Tapi apa yang dituliskannya di dinding ini, adalah satu hal yang aku belum bisa percaya. Tentara kerajaan telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun ditemukan....”
“Mungkin mereka semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat yang tersembunyi di luar kerajaan” kata Rara Murni pula.
Prabu Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu katanya, “Rahasiakan tentang tulisan ini, Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan mengadakan penyelidikan juga.”
Sesudah itu, keluarlah Kamandaka dari kamar adiknya.


***


Bersambung…
Maut Bernyanyi Di Pajajaran {Bagian IV}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar