Setapak jejak lima purnama tertinggal dalam penggalan
Engkau ukir dalam lafaz pesona berpura dalam sepeninggalan
Hingga hardik puja-puji mulai memaki asa
Lelaku yang tertinggal kian meniti
Membasuh peluh rendah diri menggapai hari
Aku hanya tertegun akan sanjung dalam nistaku
Rindu dendam menuju labirin penuh torehan hasrat berdebu
Dan menjadi letihku dalam persimpangan ini
Purnama Pertama...
Temaram hari penatkan raga
Tak ingin tebarkan asa pada tautan buana
Menjadikan aku tiada berhak menuai semua
Tapi jika menjadi jalan maka tak akan ku pungkiri
Dan aku tunaikan kewajibanku sebagai manusia
Tak inginkan hak dalam wajib jiwa merindui
Purnama Kedua...
Sapaan jingga pada rasa sematkan resah
Karena aku bukanlah pujangga yang agungkan kata cinta
Menguntai rajut menjadi harap tentang kecupan arti asmara
Dan tiada daya menggores seratus puisi cinta pada maya
Karena aku hanya insan biasa yang berdiri setengah arca
Walau santunmu tak mengatakan dalam rayu paling menggoda
Purnama Ketiga...
Langit mulai mendung berkabung lampiran hasrat
Dalam surat terindah yang dibuat cerminkan maumu
Engkau ingin menjadi permaisuri pada singgasana tersirat
Dan aku menjadi bumi serta alas tiang dunia hidup tanpa sendu
Purnama Keempat...
Angin semilir syahdu mulai menampar kalbu terusik
Aku tidak mencari warna pelangi seperti yang engkau kira
Aku tak memasung diri pada sanjungan mencibir senyum tersemat
Aku hanya binatang jalang yang langka seperti engkau sangka
Tak akan pernah ada dewi surga bersimpati pada hina yang tersangka
Karena mereka hanya ingin satria gagah dalam kasta yang bertingkat
Purnama Kelima...
Purnama terakhir dalam kidung tata nilaimu akan aku
Walau rembulan tak ingin bersinar dan langit mulai runtuh
Mimpi berkiblat tenggelam dalam gulungan gelora rapuh
Dan sentuhan kasih dalam balutan angkara kian meraja kalbu
Sempurnakan lumatan ringkih miris yang meringis
Hingga semua berderai yang tiada bertangis
Aku masih disini memintal janji tepi hari
Walau aku tidak tahu apa ukuran bahagiamu berdelik
Hingga pada akhir tiada berakhir engkau lambangkan titik
Bagaimana aku bisa agungkan hati ketika hatiku telah lama mati
Kini setiap malam engkau bersetubuh dengan hening
Tapi hening seperti apa yang kini engkau cumbui
Karena hening adalah senja dan hening senja adalah aku
Sedari dulu, kini dan selamanya akan seperti kemaring walau tak bening
Yang bukan apa-apa dalam bingarnya bingkaian dunia semesta
Akhir kata...
Hanya sepengal pendaran lima purnama
Engkau nistakan aku pada beranda senja muliamu
Santun katamu matikan harga diri yang mulai membiru
Dan tapaku ajarkan aku untuk mengenal nurani bukan maki
Memberi kasih tanpa berpamrih walau akan ditiadakan
Tapi cermin tabir aroma panggutan ego mulai beringin ringkih
Katup jemari meminta kemaafan wahai bidadari yang tiada berkenan
Karena pintamu keterlaluan mahligai puncak kayangan tak dapat ku tunaikan
Hingga kenaifan menghantarkan aku dalam tempat dan waktu tak berarti
Menjadikan aku terlalai merengkuhmu senbagai amanah
Dan aku bermohon diri...

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150200256685711
seandainya..
BalasHapusseandainya saja.... tapi... hingga menjadi seandainya saja...
BalasHapus